SMRC Sebut Masyarakat Indonesia Tidak Terpolarisasi dalam Ideologi Ekonomi

- Kamis, 23 Maret 2023 | 14:36 WIB
Saiful Mujani. Foto (Instagram/Saiful_mujani) (Mohammad Zaini)
Saiful Mujani. Foto (Instagram/Saiful_mujani) (Mohammad Zaini)

CAKRAWALA.CO - Dalam ideologi ekonomi, masyarakat Indonesia cenderung moderat dan tidak terpolarisasi karena persaingan politik dalam pemilihan presiden. Demikian temuan studi yang dipresentasikan Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Polarisasi di Pilpres 2024? (bagian 2)”. Program ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 23 Maret 2023.

Saiful menjelaskan bahwa isu mengenai polarisasi adalah perdebatan lama yang pada mulanya lebih banyak mengenai persoalan ekonomi: kiri atau kanan. Di Eropa, kiri artinya lebih pro-negara atau sosialis, kanan lebih liberal atau lebih percaya pada individu atau masyarakat yang bisa mengatasi persoalan ekonomi sendiri.

Di Amerika Serikat, yang disebut kelompok liberal adalah kiri atau menginginkan peran negara lebih besar untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang berkembang di dalam masyarakat. Sementara yang kanan adalah yang lebih percaya pada kemampuan masyarakat sendiri menanggulangi persoalan-persoalan ekonomi rakyat itu sendiri, tidak menginginkan intervensi negara terlalu banyak.

Baca Juga: SMRC: Ganjar Unggul, Prabowo dan Anies Bersaing di Posisi Kedua

Bentuknya yang lebih populer dan lebih sederhana adalah bahwa negara seharusnya tidak mengambil pajak dari warga terlalu banyak. Mereka menginginkan rakyat mendapat kesempatan lebih besar untuk berusaha sendiri. Kalau pun mau membantu rakyat yang kurang mampu, itu adalah inisiatif atau tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Di Indonesia, lanjut Saiful, perdebatan mengenai ekonomi ini juga relevan. Ada yang berharap negara lebih mengambil peran dalam menanggulangi persoalan ekonomi yang ada di masyarakat, namun kemungkinan juga ada yang tidak menginginkan demikian.

Namun yang lebih penting, menurut dia, adalah apakah perbedaan ideologi ini membuat masyarakat terbelah? Apakah cukup besar warga yang ada di ektrim kanan dan cukup besar yang berkumpul di ektrim kiri? Ini, menurut Saiful, adalah konsep polarisasi.

Dalam studi ini, masyarakat diminta memberi skor pada dirinya antara 0 sampai 10, di mana semakin mendekati 0 berarti semakin pro pada pandangan bahwa pemerintah bertanggung-jawab bagi kesejahteraan rakyat, sementara semakin mendekati 10, berarti semakin mendukung gagasan rakyat harus mengurus dirinya sendiri dan bertanggung-jawab atas keberhasilan hidupnya.

Hasilnya, rata-rata skor yang diberikan oleh publik adalah 4,31. Ini artinya masyarakat memiliki kecenderungan ideologi pro pada intervensi negara dalam hal kesejahteraan rakyat.

“Secara umum, data ini menunjukkan masyarakat menginginkan agar negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan masyarakat. Cukup kiri jika menggunakan istilah di Amerika atau sosialis dalam istilah Eropa.” kata Saiful.

Data ini, menurut Saiful, tidak mengkonfirmasi adanya polarisasi. Alasannya karena ekstrim kanan dan kiri tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Kalau dibuat pengelompokan dari 0 sampai 3, ini lebih rendah, dibanding yang tengah, 4 sampai 6. Ini, lanjut Saiful, menunjukkan kurva normal yang berarti masyarakat Indonesia lebih moderat dalam ideologi ekonomi.

Di satu sisi, masyarakat ingin agar bisa berusaha sendiri, tapi di sisi lain juga tetap menganggap penting peran negara, karena kenyataannya banyak masyarakat yang membutuhkan peran atau bantuan negara.

Saiful melanjutkan bahwa walaupun cenderung kiri dan menginginkan intervensi negara, data ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum moderat. Bahkan kalau pun masyarakat sangat ektrim ke kiri, mayoritas pro intervensi negara, itu juga tidak menunjukkan polarisasi, kata dia, karena yang di kanan atau pro-individu tidak banyak.

Polarisasi, menurut Saiful, mengharusnya adanya dua kecenderungan atau dua kutup ideologis yang relatif seimbang dan besar.

Pembelahan, menurut Saiful, bisa juga terjadi dalam banyak kutub. Namun hal tersebut tidak disebut polarisasi, melainkan anarki. Cirinya adalah ada banyak kutub idelogi dan tidak ada kekuatan mayoritas yang bisa menjembatani semua keragaman dan perbedaan tersebut.

Halaman:

Editor: Mohammad Zaini

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X