SMRC Sebut Tidak Ada Polarisasi Ideologis Diantara Pemilih Capres

- Kamis, 16 Maret 2023 | 13:38 WIB
Saiful Mujani. Foto (Facebook.com/Saifulmujani)
Saiful Mujani. Foto (Facebook.com/Saifulmujani)

CAKRAWALA.CO - Di tingkat massa pemilih calon presiden, tidak terjadi polarisasi secara ideologis. Demikian temuan studi yang dilakukan Prof. Saiful Mujani yang dipresentasikan yang disampaikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Polarisasi di Pilpres 2024?”. Program ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 16 Maret 2023.

Dalam presentasinya, Saiful menjelaskan bahwa isu mengenai polarisasi adalah diskursus global. Di Amerika Serikat, misalnya, isu mengenai polarisasi menarik banyak perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik Amerika sejak awal tahun 2000an.

Polarisasi adalah isu yang sudah cukup lama. Namun dalam masyarakat Indonesia mendapatkan satu momentum ketika terdapat beberapa event politik penting yang berskala nasional, terutama pemilihan presiden. Dalam pemilihan presiden secara langsung pertama (2004) dan kedua (2009), kata Saiful, isu polarisasi belum muncul atau tidak terlihat banyak. Polarisasi ketika itu belum menjadi keprihatinan banyak pihak, misalnya dari politisi atau para pengamat.

Baca Juga: Survei SMRC: Ganjar Unggul di Pemilih Etnis Jawa

Di Amerika Serikat, lanjutnya, yang dimaksud dengan polarisasi adalah keterbelahan elit yang berpengaruh pada keterbelahan massa secara lebih luas. Dalam tradisi politik Amerika, terdapat konsep ideologi kiri dan kanan. Karena itu, polarisasi tersebut bisa diartikan sebagai terbelahnya masyarakat oleh ideologi kiri dan kanan tersebut.

Keterbelahan terjadi ketika sebagian besar masyarakat berada di kutub kanan atau kiri tersebut. Polarisasi terjadi jika yang kanan dan yang kiri membesar sehingga tercipta ruang kosong di tengah. Saiful menyatakan normalnya justru yang banyak berada di tengah. Sementara yang ekstrim (kiri dan kanan) normalnya adalah sedikit. Yang besar seharusnya yang moderat atau yang ada di tengah. Ini disebut depolarisasi atau polarisasi tidak terjadi.

Sementara kurva polarisasi lebih menyerupai lonceng terbalik. Yang berideologi kanan dan kiri lebih besar dari warga yang moderat. Polarisasi, menurut Saiful, adalah melemahnya kekuatan moderat dalam masyarakat ketika melihat dua kutub kiri dan kanan dalam konteks Amerika Serikat. Di Indonesia, lanjut Saiful, mungkin tidak relevan bicara kiri dan kanan karena semua atau sebagian besar warga kemungkinan memiliki ideologi kiri karena semua mungkin menginginkan proteksi negara atau menginginkan keterlibatan negara dalam urusan kesejahteraan masyarakat.

Perbedaan ideologi yang memiliki tradisi panjang di Indonesia, kata Saiful, adalah politik Islam dengan politik nasionalis. Studi ini fokus pada salah satu dimensi polarisasi, yakni Islam versus nasionalis atau Islam versus Pancasila. Dalam pelbagai studi mengenai polarisasi di pelbagai belahan dunia, biasanya bersandar pada hasil riset opini publik. Apakah betul di Indonesia sudah terjadi polarisasi dan dalam pemilihan presiden 2024 akan kembali terjadi?

Pertama yang dilihat adalah posisi ideologis masyarakat. Dalam studi ini, publik diminta untuk memberi skor antara 0 sampai 10 pada dirinya sendiri. Skor 10 artinya menginginkan agar Islam berperan besar dalam kehidupan politik. Sementara 0 berarti menginginkan agar negara diatur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Rata-rata skor yang diperoleh dari studi ini adalah 4,61. Angka ini menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan lebih pro pada Pancasila.

“Untuk urusan ngatur negara, kecenderungan skornya di bawah 5, lebih cenderung pada Pancasila dan UUD 1945, bukan pada politik Islam,” jelas Saiful.

Saiful juga menggarisbawahi bahwa ada angka yang cukup menonjol, beda dengan yang lain, yakni pada skor 5. Ada 28,5 persen yang menyatakan bahwa posisi ideologisnya ada di angka lima atau tengah. Gambaran ini menunjukkan, kata Saiful, masyarakat Indonesia tidak terpolarisasi atau tidak terbelah. Yang banyak adalah yang moderat. Yang sangat menginginkan Pancasila hanya sekitar 20 persen, demikian pula yang sangat menginginkan Islam. Sisanya berada di tengah, dan mereka secara jumlah adalah yang paling besar.

“Ini mencerminkan kurva normal. Dan itu artinya tidak terjadi polarisasi dalam ideologi,” tegasnya.

Saiful menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tidak terbelah, tidak ekstrim Islam dan ekstrim Pancasila. Di antara titik ekstrim Pancasila dan Islam, ada ruang kelabu di tengah yang mempertemukan dua kecenderungan tersebut. Di sanalah masyarakat Indonesia berada dan menjalani hidup sehari-hari.

“Tanpa intervensi apa-apa, masyarakat kita moderat secara ideologis, walaupun moderatnya lebih cenderung pada Pancasila,” lanjut Saiful.

Saiful menambahkan bahwa secara alamiah, sikap moderat adalah gejala umum masyarakat. Sementara yang ekstrim secara alamiah kecil.

Halaman:

Editor: Mohammad Zaini

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X