• Minggu, 24 September 2023

Tiga Tahun AJV Menghadapi "Jurnalisme" ala Artificial Inteligence

- Sabtu, 4 Februari 2023 | 15:10 WIB
Tiga Tahun AJV Menghadapi Jurnalisme ala Artivicial Intelligence (AJV)
Tiga Tahun AJV Menghadapi Jurnalisme ala Artivicial Intelligence (AJV)

Tiga Tahun AJV Menghadapi "Jurnalisme" ala Artificial Inteligence

 

"Tantangan terbesar jurnalisme mendatang adalah menghadapi berbagai berita hasil rekayasa kecerdasan buatan atau artificial inteligence, yang seolah-olah adalah berita."

Oleh Syaefurrahman Albanjary

 

Aliansi Jurnalis Video (AJV) hari ini 2 Februari 2023 tepat berusia 3 tahun. Organisasi jurnalis video ini lahir di saat dunia sedang ramai dilanda pandemi Covid-19, dan di Indoesia pun akhirnya menyatakan  terserang Covid-19 pada Maret 2020. Maklum saja perjalanannya lambat karena ada pembatasan bergerak. Namun kegiatan jurnalisme harus jalan, termasuk organisasi ini.

Dalam cacatan kiprahnya,  kehadirannya AJV cukup diperhitungkan, baik di bidang pengembangan jurnalisme, edukasi maupun perlindungan jurnalis. AJV pula yang bersama Komisi Penyiaran Indonesia Jawa Barat menginisiasi penyiaran berbasis desa untuk menumbuhkan kader jurnalisme penyiaran dan konten kreatir yang berkontribusi pada penyiaran Indonesia.

Selain itu yang patut direnungkan adalah  ketika pada 2021  AJV mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam menghadapi gugatan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi.

Kedua lembaga penyiaran itu meminta agar penyiaran melalui internet dan media sosial diperlakukan sama dengan penyiaran televisi yang menggunaan frekuensi publik sehingga harus tunduk kepada UU Penyiaran dan diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Namun MK menolak gugatan RCTI dan INews pada 14/1/2021. Seluruh pandangan dan dalil AJV tercantum dalam Putusan MK Nomor 39/PUU-XVIII/2020 di halaman 229 hingga 243 telah menjadi ad informandum dalam putusan tersebut.

Putusan ini jelas merupakan angin segar bagi jurnalis video yang selama ini menyiarkan karya jurnalistiknya di berbagai platform media sosial dan jalur internet. Alangkah repotnya jika mereka diperlakukan sama dengan lembaga penyiaran berbasis frekuensi, sehingga harus berbadan hukum, bayar pajak, perijinan dan semacamnya.

Bagi AJV, jika karya jurnalistik disiarkan melalui media sosial diperlakukan sama dengan penyiaran televisi jelas tidak sejalan dengan perkembangan teknologi, dan hal itu jelas melawan qodratnya. Oleh karena itu tuntutan perlakuan sama, jelas perlu didefinisikan ulang. Jangan sampai perlakuan itu dilihat dari sisi bisnis semata dengan mengorbankan fungsi lainnya, misalnya fungsi sosial, pendidikan, hiburan dan perkembangan ekonomi digital.

Akan berbeda jika penyiaran yang menggunakan internet itu dilihat dari sisi ketaatan pada regulasi etik, maka yang demikian itu dapat saja dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran. Dimulai dengan mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan penyiaran, apakah hanya penyiaran yang menggunakan frekuensi publik, ataukah pula penyiaran yang menggunakan internet seperti over the top seperti Netflix dan semacamnya. Lalu juga didefinisikan jurnalisme penyiaran seperti apa dan bagaimana aturan mainnya.

Dengan demikian nantinya KPI dan KPID dapat mengawasi siaran itu, bisa juga terhadap penyiaran over the top, pihak KPI juga mengawasi konten selanjutnya dilakukan pengkajian dan penindakannya diserahkan kepada Kominfo.

Halaman:

Editor: Syaefurrahman Albanjary

Tags

Terkini

Radikalisme di Perbankan Antara Ada dan Tiada

Minggu, 17 September 2023 | 17:15 WIB

Politik Hukum Indonesia Pasca Reformasi

Kamis, 31 Agustus 2023 | 12:40 WIB

Penanganan Kasus Penodaan Agama

Sabtu, 5 Agustus 2023 | 16:15 WIB

Kerusakan Terumbu Karang di Perairan Karimunjawa

Selasa, 27 Juni 2023 | 22:36 WIB

Hubungan Sikap Kerja dengan Kepuasan Kerja

Jumat, 23 Juni 2023 | 13:04 WIB
X