Bangkitnya Ambisi Internasionalisme Indonesia

- Senin, 26 Desember 2022 | 17:48 WIB
Presiden Joko Widodo (Ist)
Presiden Joko Widodo (Ist)

Oleh: Ahmad Yasri Zaenuri

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia

“Indonesia matters.” Begitulah majalah legendaris The Economist menuliskan impresinya terhadap penyelenggaraan G20 Indonesia Summit di Bali. Pertemuan G20 memang menjadi rutinitas tahunan untuk memastikan dunia terhindar atau keluar dari krisis dan menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan berkesinambungan. Namun, hampir seluruh negara menganggap bahwa dalam presidensi tahun ini, penyelenggaraannya tidak akan mudah karena terdapat berbagai macam konflik, terutama geopolitik yang membuat pemimpin negara-negara di dunia skeptis terhadap fungsi dari kerja sama multilateral.

 

Terbantahnya Pesimisme terhadap Forum Kerja Sama Multilateral


Dalam forum G20 yang ditutup satu bulan lalu, Indonesia dikatakan berhasil mengembalikan marwah pentingnya forum kerja sama multilateral di tengah masa krisis, hal itu ditunjukkan dengan tercapainya joint declaration yang berisikan “posisi” negara-negara yang tergabung dalam G20 tentang suatu masalah. Joint declaration mengindikasikan tercapainya usaha untuk menggunakan kacamata yang sama dalam melihat permasalahan di dunia, dan dengan kacamata yang sama setidaknya negara-negara di dunia dapat menggunakan kekuatan kolaborasi untuk bahu-membahu mengatasi berbagai permasalahan yang menjadi fokus bahasan.

Di samping kesulitan mencapai konsensus dalam perumusan joint declaration, kepemimpinan tahun ini Indonesia patut mendapatkan apresiasi karena telah berhasil mengumpulkan partisipan dari seluruh anggota G20, bahkan hingga tingkatan pemimpin negara. Keseluruhan rangkaian selama kurang lebih satu tahun berjalan dengan baik. Berbagai kerja sama bilateral juga turut terbentuk, setidaknya lebih dari lima kesepakatan strategis dalam bidang ekonomi hingga perdagangan untuk Indonesia tercipta, dan hal tersebut merefleksikan optimisme pemimpin-pemimpin negara terkait dalam menginvestasikan sumber dayanya untuk mendorong pertumbuhan di negara ini.

Di samping itu, negara-negara lain juga turut mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, seperti China dengan Kanada, dan Amerika dengan Prancis. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam situasi krisis yang memecah belah sekalipun, forum kerja sama tahunan dapat menjadi katalis penyatu dalam merekonsiliasi hubungan antarnegara. Dan dengan bangga, Indonesia berhasil menjawab kesempatan tersebut.

Kekuatan Politik Internasional: Reinkarnasi

Politik luar negeri bebas dan aktif yang dicetuskan pertama kali oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung di antara Dua Karang” pada tahun 1948 nampak terus diimplementasikan dengan hati-hati hingga 74 tahun kemudian. Ambisi untuk mereinkarnasi kekuatan dalam politik internasional terus bersemi seiring berjalannya waktu. Hal ini tidak lepas dari keberanian langkah pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dan memanfaatkan kesempatan, terutama oleh kepala negara Joko Widodo, yang dalam beberapa konteks kepemimpinan bahkan dijuluki dengai Jokowi’s style karena kekhasannya.

Dengan identitas dan keunikannya, Joko Widodo dikategorikan sebagai pemimpin yang sering menggunakan pendekatan situasional dalam mengambil kebijakan, pendekatan ini pertama kali dicetuskan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard. Melalui pendekatan tersebut, Joko Widodo menyadari bahwa Indonesia memiliki kekuatan ekonomi dengan segudang sumber daya, Indonesia membutuhkan dan berhak atas segala bentuk utilisasi sumber dayanya, maka sudah seharusnya Indonesia bertindak selayaknya pemilik sumber daya, bukan didikte dengan kesepakatan internasional yang tidak menguntungkan.

Kesadaran bahwa Indonesia bukan hanya dapat dipengaruhi, tetapi memengaruhi, mengantarkan kepada kenyataan bahwa diperlukannya pembenahan sudut pandang secara kolektif, yang dapat dihantarkan oleh pemerintah Indonesia dalam forum-forum internasional. Tanpa niat menanggalkan pentingnya jejaring dan kolaborasi, sesuai dengan apa yang disampaikan Richard L. Hughes dalam bukunya yang berjudul Leadership: Enhancing the Lessons of Experience, justru hal tersebut perlu diperkuat namun disertai kalkulasi akurat tentang apa yang menguntungkan bagi Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik material maupun immaterial.

Pemanfaatan Momentum Memerlukan Pemimpin yang Berkapasitas
Hal tersebut sedikit banyak sudah diterapkan oleh Joko Widodo dalam posisinya mewakili Indonesia mengenai perselisihan larangan ekspor nikel mentah, Indonesia dinyatakan kalah dengan Uni Eropa yang mengatakan bahwa larangan ekspor nikel mentah akan membahayakan industri stainless steel. Meskipun begitu Indonesia berencana mengajukan banding ke World Trade Organization demi memperluas lapangan pekerjaan dan mempertahankan nilai tambah nikel milik Indonesia.

Terakhir kali ekonomi dan politik Indonesia mendapat lampu sorot dunia adalah ketika terjadinya krisis Asia yang mendorong Indonesia ke jurang krisis moneter pada tahun 1998. Momen Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dirinya di mata internasional sudah sepatutnya tidak disia-siakan, setelah penolakan dikte ASEAN oleh Uni Eropa pada EU-ASEAN Commemorative Summit di 14 Desember lalu, serta keketuaan Indonesia pada ASEAN 2023 nanti, alangkah baiknya kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Joko Widodo untuk memperkuat posisi Indonesia secara ekonomi dan politik. **

Halaman:

Editor: Syaefurrahman Albanjary

Tags

Terkini

Tahun 2024 SBT Butuh Nahkoda Yang Piawai

Minggu, 19 Maret 2023 | 17:55 WIB

Revolusi Mental Jokowi Hancur Gegara Orang Ini

Selasa, 28 Februari 2023 | 18:59 WIB

Sidokepung 'Dikepung" Pemberitaan PTSL

Selasa, 28 Februari 2023 | 08:47 WIB

Cost Politik, Tidak Semua Money Politik

Selasa, 24 Januari 2023 | 11:59 WIB

Menebak Akhir Kasus Pokir dan BOP DPRD Garut

Kamis, 19 Januari 2023 | 10:57 WIB

Perlunya Hidupkan Pansus RTRW Sidoarjo

Selasa, 10 Januari 2023 | 08:03 WIB

Bangkitnya Ambisi Internasionalisme Indonesia

Senin, 26 Desember 2022 | 17:48 WIB
X