Polemik Pembangunan Wisata Premium di Pulau Komodo Cermin Kesadaran Pemerintah

- Jumat, 10 Desember 2021 | 10:59 WIB
Komodo di Taman Nasional Komodo, sumber : UNESCO (https://whc.unesco.org/en/list/609/)
Komodo di Taman Nasional Komodo, sumber : UNESCO (https://whc.unesco.org/en/list/609/)

polemik Pembangunan Wisata Premium di Pulau komodo Cermin Kesadaran Pemerintah Oleh:  Alshakiara Nadhitri, Annysa Zhafirah, dan Nur Raissa (Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia) Setiap lingkungan atau bidang apapun pasti memiliki suatu pemahaman etikanya masing-masing, seperti halnya dalam bisnis atau yang biasa kita sebut dengan etika bisnis. Dikatakan bahwa bisnis yang beretika harus seimbang dengan melihat dari tiga aspek, yaitu ekonomi, hukum, dan moral. Akan tetapi, masih banyak sekali pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab yang hanya mementingkan keuntungan ekonomi semata tanpa memedulikan dampak lainnya bagi lingkungan dan banyak orang. Berkaitan dengan hal tersebut, artikel ini akan membahas mengenai salah satu permasalahan etika yang terjadi pada pembangunan proyek wisata di Pulau komodo, Nusa Tenggara Timur. Proyek pembangunan taman wisata Pulau komodo yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak tahun 2018. Pulau Rinca menjadi salah satu wilayah yang akan mengalami perubahan secara signifikan. Proyek ini dilakukan oleh pemerintah untuk menata lebih lanjut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional di kawasan Labuan Bajo, NTT, yakni dengan cara membangun berbagai sarana dan prasarana yang berkualitas. Pemerintah berharap, proyek pembangunan Pulau komodo ini dapat meningkatkan kualitas pariwisata dan jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia. Setelah beberapa waktu pembangunan tersebut dijalankan, mulai muncul beberapa kontroversi dari berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga besar dunia. Istilah “Jurassic Park” pun diberikan oleh para masyarakat, karena mereka menganggap proyek tersebut akan mengganggu habitat asli dari komodo, ekosistem lingkungan sekitarnya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang telah memastikan bahwa proyek pembangunan tersebut telah memenuhi seluruh persyaratan pembangunan. Namun, organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menentang pernyataan KLHK tersebut. Direktur Walhi, Umbu, mengatakan bahwa izin lingkungan yang dibuat tidak mengikutsertakan publik dan para pemangku kepentingan di lingkungan NTT. Lembaga besar dunia, UNESCO, juga memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Indonesia akan proyek pembangunan ini. Pada laporannya, UNESCO meminta Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembangunan di Pulau komodo tersebut, karena dianggap mengancam Outstanding Universal Value (OUV). Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia masih terus menjalankan pembangunan dengan beberapa argumen yang mereka miliki. Permasalahan Etika Pembangunan yang menuai banyak kontroversi ini perlu adanya tinjauan lebih lanjut lagi mengenai dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan etika yang ada di dalamnya. Untuk melihat adanya kerugian yang ditimbulkan dari permasalahan etika suatu bisnis, kita dapat menggunakan sudut pandang teori-teori etika yang telah dikemukakan oleh para filsuf dari waktu ke waktu. Teori etika pertama yang dapat digunakan untuk meninjau etis atau tidaknya pembangunan wisata premium di Pulau komodo ini adalah teori deontologi. Menurut Quong (2018), teori deontologi ini memiliki keyakinan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan atau keputusan yang telah diambil diukur atas dasar kewajiban. Dalam etika bisnis, teori ini memiliki pengertian bahwa tindakan yang telah diambil dalam keputusan bisnis memiliki tujuan yang sama dengan kewajiban dari pengambil keputusan (George, 2006), seperti mementingkan hak para stakeholders, yang ada di dalam daerah Wisata Premium, atau menghargai Pulau komodo sebagai kawasan konservasi yang bertujuan untuk melindungi serta melestarikan komodo dari kepunahan. Melansir dari Mongabay, kawasan komodo">taman nasional komodo yang akan disulap menjadi bisnis pariwisata alam ini akan memakan lahan yang cukup luas, yaitu seluas 447,170 ha. Meski adanya perlawanan dari masyarakat setempat juga dari aktivis lingkungan, tetapi tetap saja tidak adanya pembatalan dari proyek ini. Padahal, jika dilihat dari dampak yang akan timbul dari pembangunan wisata premium ini pun akan berdampak pada bentang alam indah yang merupakan ciri khas dari komodo">taman nasional komodo ini serta ekosistem dari kehidupan komodo ini. Pembangunan di wilayah komodo">taman nasional komodo ini juga sebenarnya melanggar aturan tentang zonasi komodo">taman nasional komodo, yaitu Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 65/Kpts/DJ-5/2001. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa kawasan yang direncanakan akan dibangun pariwisata untuk menarik para turis ini hanya memiliki zona inti dan zona rimba. Kedua zona ini, menurut aturan yang telah disebutkan sebelumnya, melarang adanya aktivitas manusia kecuali wisata alam yang dilakukan secara terbatas. Jika dikaitkan dengan teori deontologi, maka proyek pembangunan Wisata Premium di komodo">taman nasional komodo ini melanggar etika karena tidak sesuai dengan kewajiban yang seharusnya dijalankan. Selain teori deontologi, ada juga teori teleologi yang membahas apakah suatu tindakan tergolong baik atau buruk jika dilihat dari tujuan atau konsekuensi dari pemilihan keputusan yang akan atau telah diambil. Teori teleologi ini, menurut Quong (2018) memiliki peran penting dalam suatu etika bisnis yang memiliki orientasi pada hasil karena dari setiap keputusan para pelaku bisnis pilih akan ada konsekuensi dari pilihan mereka. Pendekatan dari teori teleologi memiliki kaitan dengan konsep utilitarianisme, yang meyakini bahwa keputusan terbaik nantinya akan memberikan kemanfaatan besar bagi banyak orang. Proyek pembangunan wisata premium ini, seperti yang telah disinggung di atas, telah menimbulkan banyak kontroversi dari berbagai pihak. Mulai dari UNESCO yang menegur bahwa pembangunan ini perlu untuk dihentikan karena kawasan konservasi komodo yang penting untuk keberlanjutan dari spesies komodo serta memberi dampak langsung pada Outstanding Universal Value (OUV) komodo">taman nasional komodo itu sendiri, lalu adanya protes dari aktivis lingkungan yang khawatir akan terusiknya habitat alami komodo. Dilihat dari sudut pandang teleologi maka proyek ini disebut tidak etis karena banyaknya pihak yang merasa dirugikan dari pembangunan wisata premium ini. Sikap Pemerintah dalam Pembangunan Wisata Premium di Pulau komodo Banyak peringatan yang diberikan oleh lembaga-lembaga di dunia kepada pemerintah. Namun, respons dari pemerintah cenderung menganggap remeh peringatan-peringatan tersebut. Bahkan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, mengatakan bahwa pembangunan ini tidak memberikan dampak yang negatif terhadap komodo">taman nasional komodo. Nyatanya pembangunan ini memberikan dampak negatif salah satunya adalah pohon-pohon yang akan ditebang demi terbukanya lahan untuk pendirian resor. Pohon yang banyak terdapat di pulau tersebut adalah pohon bidara, kesambi, dan asam sebagai sumber makanan monyet ekor panjang di mana monyet ini merupakan salah satu makanan bagi komodo di alam. Tentu dengan dipotongnya pohon tersebut, maka akan berdampak pada keseimbangan ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah cenderung tidak memikirkan keseimbangan ekosistem yang akan secara tidak langsung memengaruhi komodo. Tidak sampai disitu, pemerintah juga dianggap lalai dalam menanggapi peringatan yang diberikan oleh institusi yang aktif dalam menanggapi masalah kerusakan alam maupun ekosistem serta konservasi hewan. Sikap pemerintah cenderung menyayangkan pembangunan yang sudah berjalan cukup lama. UNESCO juga memberikan peringatan keras terhadap pemerintah bahwa pembangunan yang dilakukan tersebut memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan. Namun, pemerintah memberikan tanggapan bahwa hal ini tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap Outstanding Universal Value (OUV). Sehubung dengan hal tersebut, UNESCO juga meminta proyek ini untuk dihentikan dan hal tersebut tercantum di dokumen konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia bernomor WHC/21/44.COM/7B. Selain itu, pada 30 Oktober 2020 UNESCO telah memperingati pemerintah untuk tidak melanjutkan proyek tersebut sehubungan dengan kerugian yang ditafsir. Pemerintah diminta untuk memberikan revisi mengenai analisis dampak lingkungan (AMDAL) kepada UNESCO. Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO juga telah memberikan permintaan yang sama pada 12 Januari dan 12 Maret 2021. Pemerintah memastikan bahwa akan menyerahkan hasil revisi paling lambat September 2021. Sedangkan pada 9 Agustus 2021, UNESCO telah memberikan batas waktu bagi Indonesia untuk memberikan revisi AMDAL sampai 1 Februari 2022. Namun, sampai tulisan ini dibuat belum terdapat informasi lebih lanjut mengenai penerimaan dokumen yang diminta oleh UNESCO kepada pemerintah. Berdasarkan hal-hal diatas dan tinjauan dari sudut pandang teori-teori etika yang dikembangkan oleh para filsuf dari tahun ke tahun, pembangunan ini dapat dianggap tidak etis jika terus dijalankan karena akan merugikan banyak pihak. Terutama terhadap keberlangsungan komodo yang sudah lama berada di komodo">taman nasional komodo, yang merupakan kawasan konservasi. Meski banyaknya peringatan yang telah dikeluarkan oleh UNESCO akan proyek pembangunan ini, Pemerintah Indonesia pun cenderung lalai bahkan menyayangkan pembangunan wisata premium ini yang telah direncanakan sejak lama.

Editor: Dewan Redaksi

Tags

Terkini

Tahun 2024 SBT Butuh Nahkoda Yang Piawai

Minggu, 19 Maret 2023 | 17:55 WIB

Revolusi Mental Jokowi Hancur Gegara Orang Ini

Selasa, 28 Februari 2023 | 18:59 WIB

Sidokepung 'Dikepung" Pemberitaan PTSL

Selasa, 28 Februari 2023 | 08:47 WIB

Cost Politik, Tidak Semua Money Politik

Selasa, 24 Januari 2023 | 11:59 WIB

Menebak Akhir Kasus Pokir dan BOP DPRD Garut

Kamis, 19 Januari 2023 | 10:57 WIB

Perlunya Hidupkan Pansus RTRW Sidoarjo

Selasa, 10 Januari 2023 | 08:03 WIB

Bangkitnya Ambisi Internasionalisme Indonesia

Senin, 26 Desember 2022 | 17:48 WIB
X