Oleh: Mahyudin Rumata.
(Anak Kampung, Pernah Bermukim di Jakarta 12 Tahun sebagai Ketua PB HMI 2016/2018 dan aktivis Masyarakat Adat (AMAN) untuk issue Hak-hak Masyarakat Adat atas Tanah, Lingkungan, SDA, Issue Perubahan Iklim, Deforestasi, Kemaritiman).
CAKRAWALA.CO-Piawai adalah tentang kecakapan memimpin dan mengarahkan, tentang kelihaian memanejemeni kepemimpinannya, juga tentang kemampuan memimpin dan mengorganisir. Di era modern saat ini kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya sekedar tau memerintah dan punya pengikut tetapi kita butuh pemimpin yang sensitif dan responsif terhadap masalah, gesit dan kreatif dalam mendorong pemajuan terhadap daerah.
Setidaknya SBT membutuhkan Pemimpin yang memiliki tipikal energik dan punya kemampuan mendiagnosis masalah dan piawai sebagai mana gambaran pada paragraf awal, tidak hanya sekedar terkenal dan menjulang popularitasnya. "Toh untuk apa terkenal atau popoler", kalau tidak tau bekerja dan memahami seni memimpin untuk kemajuan daerah dan kemaslahatan rakyat.
SBT jika di ibaratkan Kapal, ke depan kita butuh Nahkoda yang piawai dan handal. Nahkoda yang memiliki kemampuan, kecakapan, keliahaian dalam mengarahkan kapal agar sampai tujuan dengan selamat sesuai target pelayaran yang di rencanakan. Karena terkadang kita tidak bisa menerka cuaca di lautan lepas. Oleh karena itu, untuk tetap melayari kapal hingga ke tepian, SBT butuh Nahkoda handal nan piawai sebagai pelaut ulung.
Selain kita butuh Nahkoda Handal dan Lihai, sebagai warga SBT memiliki kewajiban mencari dan meneropong para tokoh potensial, namun tidak hanya sekedar potensial, tapi memiliki rekam jejak baik sebagai Figur Pemimpin, karena tanpa sadar, saat ini mungkin kita sedikit kelimpungan mencari Figur Nahkoda yang benar2 memiliki jiwa sebagai pemimpin? Hal ini sejalan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa karena usia dunia mulai menua, sehingga seola olah tak kuasa melahirkan pemimpin yang benar-benar hebat memimpin.
Setidaknyanya realitas tentang kesulitan figur pemimpin tersebut sempat dikritisi oleh seorang pakar teori kepemimpinan asal Inggris, bernama Jeremie Kubicek, yang dalam bukunya dengan Judul "Kepemimpinan Telah Mati". Kubicek menyentil bahwa pemimpin sekarang lebih banyak menuntut bukan memberi, lebih banyak menikmati ketimbang melayani dan lebih banyak mengumbar janji ketimbang memberi bukti. Apa yang di isyaratkan kubicek sejalan dengan kenyataan yang ada, namun bertentangan dengan hakikat kepemimpinan itu sendiri. Sebab pemimpin ideal dalam berbagai literatur, terutama dalam islam, pemimpin adalah "pelayan masyarakat" sebagaimana Syaikh Al-Khathib Albaghdady dalam kitabnya "Tarikhu Baghdad" Yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, Nabi SAW pernah bersabda "seorang pemimpin adalah pelayan bagi masyarakat atau orang yang di pimpinnya".
Sudah saatnya, diskursus pemimpin dan kepemimpinan SBT 2024 sudah layak di bincangkan, karena tersisa satu tahun lagi, kita segera bersiap menyonsong pesta demokrasi yang oleh negara telah mencanangkan secara serentak pada tahun 2024. Sebagai penumpang kapal bernama SBT kita wajib berikhtiar untuk berlayar, dengan mastikan bahwa kapal yang kita tumpangi adalah benar-benar kapal yang siap berlayar, bukan hanya memastikan nama kapal yang berlayar, kita juga dituntut agar selamat, mengecek barang bawaan, tempat tidur, bahkan memastikan siapa Nahkodanya, karena cuaca dan situasi laut terkadang tidak menentu serta sulit dilacak.
Selain piawai dalam memimpin, SBT juga membutuhkan Nahkoda kapal memiliki "Isi Kapala" Alias memiliki kecakapan dialektis dan kapasitas intelektual dalam merencanakan pembangunan SBT untuk lima tahun ke depan, karena sudah 20 tahunan kita masih diam di tempat, padahal kita memiliki segalanya untuk melangkah bahkan mungkin bisa berlari.
Dengan demikian, tokoh calon Nahkoda yang didorong menahkodai SBT ke depan paling tidak hemat saya, memiliki mindset Re-Evaluasi, kenapa re eveluasi? Karena mengingat SBT sudah 20 tahunan kehadirannya sebagai daerah otonom, nyaris tidak terlihat melangkah untuk maju, tidak terlihat lincah untuk mewujudkan harapan dan impian masyarakat dan para pejuang pemekaran. Re-Evaluasi ini setidaknya dilakukan pada seluruh aspek baik SDM, perangkat maupun hasil pembangunan yang telah di lakukan.
Mindset kedua adalah Re-Orientasi, pemerintah daerah SBT sebagai sebuah lembaga yang melayani suatu daerah otonomi, setidaknya memiliki mindset tidak hanya Cost Centre tetapi juga Profit Centre untuk menghidupi daerah dan obyek-obyek bisnis yang di lakukan atau rencana di lakukan, reorientasi ini juga mendorong lembaga lembaga satuan perangkat daerah lebih efesien dan efektif dalam mengembangkan tugas dan tanggungjawab pada masing-masing sektor. Tidak hanya sekedar bekerja pada zona nyaman mengandalkan APBD yang tidak seberapa, karena masih banyak sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan lain untuk mendukung dan mensinergikan program kerja melalui kerjasama dengan kementerian/lembanga dan Donor.
Mindset ketiga adalah Re-Branding, dengan kreatif membangun Citra Positif tentang daerah baik level regional maupun nasional bahkan mungkin internasional secara terus menerus mengunakan teknologi dan media dengan Tagline tertentu yang menjadi ciri Khas SBT, karena hal tersebut merupakan salah satu strategi yang nyaman dan menguntungkan untuk tujuan pengembangan melalui skema investasi
Jika, beberapa catatan di atas menjadi mindset berfikir segenap eleman dan calon Nahkoda SBT masa depan, bukan tidak mungkin dalam jangka waktu 5 tahun kepemimpinan baru SBT, kita sudah bisa menghayal untuk mengarungi Samudera dengan gagah dan percaya diri sebagai sebuah daerah otonom yang Maju, Mandiri dan Bermartabat. ***