Yogyakarta, Cakrawala.co,- Dua tahun terakhir, ada yang berbeda di pasaran batik Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY). Jika semula diberbagai sentra batik di wilayah ini, penuh dengan batik dengan motif klasik, batik yang menjunjung tinggi aneka filososfi. Maka kini dipasaran batik maupun di beberapa sentra sering ditemukan batik “bondet” yakni batik yang motifnya kacau, tidak lagi memiliki pakem motif sebagaimana batik klasik dan lebih banyak berjenis lukisan abstrak. Namun batik bondet ( atau batik bom / Batik kacau) ini rata-rata dijual dengan harga tinggi, jauh lebih tinggi dibanding batik motif klasik, maupun batik kombinasi. Batik jenis ini bahkan dibanderol dengan harga lebih dari Rp 500.000 per lembar. Akibat makin banyaknya produk batik bondet di pasaran, maka guncangan pasar pun terjadi di pasaran batik DIY. Karena konsumen batik kalangan muda dan milenial lebih banyak memburu batik jenis ini dibanding batik klasik. Bahkan batik bondet, atau yang juga disebut sebagai Batik gemblung ini mulai banyak diminati konsumen asing. Gencarnya promosi melalui media sosial tentu membuat batik bondet, atau Batik gemblung, atau Batik kacau ini membuat produk beraliran abstrak ini makin mencuri perhatian dunia fashion. Salah satu pelopor munculnya batik bondet atau Batik gemblung adalah Suyono Sugondo, seniman batik yang sejak kemunculannya terus gencar membuat propaganda di media sosial tentang asyiknya batik bondet. “Bondet itu bahan peledak yang terkenal di zaman Belanda, kekuatan atau daya ledaknya sangat dahsyat. Ya saya mikirnya, batik lukis abstrak yang anti pakem ini kenapa tidak jadi bondet atau bom dunia fashion di era sekarang ini,” katanya. Awal tahun 2018 lalu, Suyono Sugondo melakukan serangkaian eksperimen, memproduksi batik lukis abstrak dengan berbagai corak. Seperti corak lahar dingin, corak jatuh cinta, lalu ada juga batik abstrak motif kasmaran, dan sejenisnya. Karena motifnya lucu, menarik, maka pasar pun mulai banyak memburu batik lukis abstrak bondet ini. “Awalnya banyak pematik tua mencemooh, dibilang batik uwuh ( sampah) atau batik ra cetho ( nggak jelas ) tetapi seiring perjalanan waktu makin banyak seniman batik di sini ikut memproduksi batik sak karepe dewe ini,” katanya. Bahkan, dikatakan, munculnya batik abstrak bondet ini bukan dari kota Yogyakarta, melainkan dari wilayah pingiran DIY, yakni Kabupaten Kulon Progo, karena di wilayah ini muncul Paguyuban Batik Abstrak. “Awalnya saya ajak 7 orang seniman batik untuk bikin Batik kacau, dalam Paguyuban Batik Abstrak. Lalu ide ini makin berkembang, dan makin banyak perajin batik yang diam-diam ikut memproduksi batik dengan motif sak karepe dewe ( semaunya sendiri, red ) ini,” katanya. Sejak itulah, batik bondet ( bom, red ) makin populer, hingga kini setiap perajin batik di Kabupaten Kulon Progo mencoba memproduksi batik abstrak dengan caranya sendiri-sendiri. Ada yang memproduksi batik abstrak murni, ada yang mengkombinasi dengan batik tulis, ada yang batik abstrak malu-malu. “Kalau saya sendiri karena lebih cocok dengan lukis abstrak maka, hampir tidak pernah memproduksi batik motif pakem, atau batik motif cap-capan, atau batik klasik. Seluruh produksi saya hand made seratus persen, lukis abstrak, dan dengan jargon satu kain satu motif satu pemakai, nggak bakal ada yang sama sedunia,” kata Sugondo. Suyono Sugondo yang mantan jurnalis televisi nasional ini bertekad untuk terus mengembangkan batik abstrak terutama lukis abstrak sebagai penghargaan atas gagasan Amri Yahya, seorang pelukis terkenal di Yogyakarta, yang tahun 1980-an lalu menggagas prouksi batik lukis abstrak. Namun keburu Amri Yahya meninggal, ide batik abstraknya tidak ada yang meneruskan. Hingga kemudian tahun 2018 muncul Paguyuban Batik Abstrak Kulon Progo. ( gon)