Minang Dalam Kaca Spion dan Oto Kritik

- Senin, 20 Maret 2023 | 14:05 WIB
Kasra Scorpi, wartawan senior dan pensiunan ASN di Diknas  Pendidikan Kab Agam
Kasra Scorpi, wartawan senior dan pensiunan ASN di Diknas Pendidikan Kab Agam

 

Oleh : Kasra Scorpi

Minang terlena dengan masa lalu, tidak mau dikritik, apalagi mengkritik diri, menganggap dia saja yang benar, enggan/malu mengakui kebenaran orang lain.

Minang hanya kaya dengan pikiran dan aturan tetapi lemah dalam pelaksanaan dan teknologi, sementara zaman berubah ke teknologistik.

Secara teknologi yang dibanggakan produk bangsa atau suku lain, jam gadang, benteng, jalan kereta api bulando,,,,ustano pagaruyuang yang rajanya urang jawa, tarompa dari japang, karupuak palembang, karak dari kaliang juo.

Mobil kehidupan itu berjalan kedepan, tetapi dalam perjalanan sopir masih suka menengok kaca spion, pemandangan kebelakang, nan taisuak juo (masa lalu) 

Dalam pidato dan persembahan adat, orang minang sering memulai persembahan dengan sejarahnya yang dimuat dalam tambo, yakni peristiwa di tahun alun baralun di nagari entah berantah, sangkat air bersentak naik bumi bersentak turun, sangkat Datuk Srimaharaja Diraja terpasah di lereng gunung Merapi bersama isteri tercinta yang Indah Jelita(Indo Jolito)

Apakah ini sebuah kesombongan dan merasa hebat karena memiliki nenek moyang yang raja diraja dan beristerikan perempuan cantik? Bukan! Ini sebuah kewajaran saja! Dimana mana setiap etnis memang begitu, sama sama mengagungkan keturunanya dan inipun tidak salah kalau disebut sebagai penghormatan terhadap leluhur.

Orang Jerman juga mengagungkan keturunanya bangsa Arya, sehingga mereka menyatakan Deutz Das Ubber Alles(bangsa Jerman adalah segala-galanya). Orang Jepang juga menyebut dirinya sebagai keturunan dewi matahari Amaterasu Omikami, orang Italia membanggakan keturunanya yang berasal dari bangsa Yunani dan Romawi kuno yang cerdas dan perkasa. Etnis dan bangsa lain juga demikian! Tak masalah lah!

Orang awak minang sebenarnya anti kesombongan dan anti ongeh! Pepatah petitih sebagai pemandu kehidupan orang minang memperingatkan jangan sombong, " ingek ingek nan diateh kok nan dibawah ka maimpok, galodo kok datang dari hilia".

Hanya saja kalau pengagungan diri dan etnis itu dilakukan dengan cara berlebihan( Schauvinisme ) iyalah sebuah kesombongan, congkak, dan akan berakibat kepada melecehkan etnis maupun orang lain, sehingga menimbulkan pemusuhan, tidak diterima dikelompok lain yang pada giliranya bisa saja menimbulkan perang besar seperti perang dunia yang telah berlangsung dua kali.

Orang awak minang egaliter, memandang sama dirinya dengan orang lain , duduk sama rendah tegak sama tinggi.

Hal itulah yang membuat orang minang dulu dulu lentur dalam pergaulan dengan etnis, suku dan bangsa lain, sehingga di perantauan orang minang diterima warga setempat dengan hati yang suci muka yang jernih, sehingga banyak orang minang yang menjadi orang gedang diperantauan.

Orang minang juga tidak terlalu proteksionis dengan produknya, orang minang tidak merasa kelintasan dan minder menggunakan produk etnis lain, seperti baju guntiang cino, kain sarung dari bugis dan sebagainya, bikin rumah gedang saja pakai surambi Aceh.Orang minang masyarakat dunia, tempat tinggalnya alam semesta.

Dalam konteks dan dalam batas tertentu, orang minang dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi waktu, "Adat dipakai baru baju dipakai usang, takuik adat katagiliang ikuti aluran zaman" kata persembahan Mak Datuk yang gedang basa bertuah.

Halaman:

Editor: Donny Magek Piliang

Tags

Terkini

X