SIDOARJO — Tim penasihat hukum Tatang Istiawan, bos salah satu media di Surabaya
yang terjerat kasus penyimpangan dana Pemkab Trenggalek untuk penyertaan modal kerjasama usaha grafika mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Dalam agenda permohonan PK pada hari Selasa, 19 September 2023 siang tadi, pihak penasihat hukum Tatang melampirkan fakta baru (Novum) yakni putusan kasasi Nomor 3572 K/Pid.Sus/2020 tanggal 20 November 2020 yang sudah dinyatakan inkrah.
Hal itu benarkan Drs. Benediktus Ditu Hadjon, SH dari Law Firm & Legal Consultant Bambang Soetjipto, S.H., M.Hum & associates salah satu penasihat hukum Tatang usai agenda penyerahan novum. Terkait adanya fakta baru tersebut, pihaknya mengaku mengikuti tata cara yang harus dilalui.
Baca Juga: Konflik Rempang, Pakar Hukum : Sejarah Panjang Suku Laut Pertahankan Tanah Adat
”Kita secara normatif saja, kan proses setelah kasasi dimana ada penghukuman terhadap klien kami dan sudah dijalani, upaya hukum yang kita lakukan ya ini sesuai prosedural yang disiapkan oleh pengadilan," ucap Benediktus Ditu Hadjon.
Menurut dia, dalam putusan 3572 K/Pid.Sus/2020 Tanggal 20 November 2020 yang berkaitan dengan penghukuman Eks Bupati Trenggalek Drs. H.Soeharto itu berkaitan means rea. Karena dalam putusan yang menghukum klien kami di tingkat Mahkamah Agung, itukan salah satu fokusnya berkaitan dengan niat jahat atau means rea yang ada pada klien kami," bebernya.
Tetapi dengan pertimbangan di Mahkamah Agung yang menghukum saudara Soeharto, disitu kan kita melihat. Pertama, saudara Soeharto mengeluarkan surat persetujuan atas permohonan direktur PDAU untuk mencairkan dana 7 sekian miliar.
Baca Juga: Mabes Polri Bersih-Bersih Oknum Pencaloan SIM di Polresta Sidoarjo
”Surat itu kalau dilihat dalam pertimbangan hukum, itukan surat yang tidak teregister, pertanyaannya kalau tidak teregister itu surat resmi atau tidak. Pertanyaan kedua kalau tidak resmi, kenapa harus mengeluarkan surat tidak resmi, dalam konteks jabatan seorang Bupati,” ungkapnya.
Selain itu tentang kerjasama dengan pihak ketiga, dalam hal ini PDAU, seharusnya kan dimasukan di APBD, artinya harus dengan persetujuan DPRD, kenapa prosedur tersebut tidak dilalui semua. ”Disinilah kami melihat, bahwa seharusnya means rea itu bukan kepada klien kami,”lanjut dia.
Kemudian menggunakan teori akibat hukum, kalau saja saudara Soeharto tidak menyetujui permohonan PDAU, maka akibat hukum dengan rentetan begini panjang tidak akan terjadi. Kalau dia berpengang sesuai prosedural, faktanya ini tidak di taati oleh beliau dengan memberi persetujuan pencairan dana tersebut. Dan itu adalah kunci dari permasalahan ini,” tutup Benediktus Ditu Hadjon.
Terpisah di tempat yang sama, Gigih, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwasanya hal yang diajukan oleh penasihat hukum ini bukan merupakan bukti baru. ”Nantinya dari pendapat dari penasehat hukum si pemohon maupun jaksa selaku termohon akan diuji di persidangan Mahkamah Agung,” katanya.
Terkait dugaan apa ini ada rekayasa fakta dan data penanganan suatu perjanjian kerjasama, menurut Gigih semua sudah melalui beberapa peradilan, maksudnya sudah melalui proses pengadilan melai tingkat pertama, kasasi dan terbuktinya juga kan berdasarkan keputusan Hakim dari fakta- fakta yang ada di persidangan.
Artikel Terkait
Tokoh NU Mendominasi Pengurus Baru DPC PPP Sidoarjo, Punya Semangat Gas Pol Rem Blong
Ada Jembatan Shiratal Mustaqim di Kabupaten Sidoarjo, Tepatnya di Desa Klurak Kecamatan Candi
DPD Partai NaDem Sidoarjo Gelar Pelatihan Guru Saksi